Ini adalah cerpen yang gue ikutin lomba~ lombanya ga tau gimana nasibnya. Kalo jelas juga nasibnya paling ga menang soalnya ini
jelek ga bisa dijelasin pake kata-kata :))) Tapi lumayan lah buat hiburan.^^ Let's read chingu-yaa~
The Best Moment
for Runa
Hari pertama sekolah setelah libur panjang datang...
Aku terbangun saat jam weker di sampingku berdering nyaring.
Dengan mata setengah terbuka aku menggapainya dan melihat dengan teliti jarum jam
yang bergerak perlahan itu, tepat pukul setengah 5 pagi. Aku berjalan menuju
wastafel. Lantas aku menatap cermin besar yang ada di depanku. Di sana
tergambar jelas wajah seseorang, orang itu sungguh berantakan, mirip Titanic diterjang tsunami. Kamu beneran orang
apa bukan sih Aruna Nur Fakhirah?, kataku pada diri sendiri. Aku menarik nafas
panjang. Tanpa memikirkan apa-apa lagi aku langsung bersiap-siap untuk sekolah,
bukan karena sekolahku jauh dari rumah tapi karena macetnya Bandung jadinya aku
harus berangkat pagi-pagi.
“Runa! Apa kamu sudah siap?” teriak seorang wanita seperti
penyanyi seriosa tempoe doeloe. Itu Bu Aisha, seseorang yang sudah ku anggap
sebagai ibuku sendiri, dia pengasuhku sejak kecil. Memang sejak kecil aku
diberikan kepada pengasuh karena ibu asliku yang memang single parent selalu sibuk bekerja. Kadang aku bingung, apa saja yang dikerjakan ibuku di kantornya sampai-sampai dia jarang sekali
menemui anak satu-satunya ini. Bahkan liburan kemarin pun aku hanya bertemu dengannya 2 kali. Ia terlalu sibuk dengan pekerjaanya,
lalu kapan
waktunya untukku?? Pikirku setiap saat.
“Iya Bu! Sebentar lagi aku keluar..” jawabku. Suara Bu Aisha
sudah tidak terdengar lagi, mungkin dia sedang menyiapkan sarapan.
Sepuluh menit kemudian aku sampai di meja makan dengan
pakaian seragam lengkap, mulai dari kemeja putih, rok kotak-kotak biru, dan
dasi kupu-kupu yang berwarna
biru juga. Di
meja makan aku menemukan sepiring nasi goreng spesial yang bikin ngiler. Tanpa
aba-aba peluit apalagi pistol aku langsung melahap anugerah Tuhan itu (?).
Tiba-tiba..
‘Uhukk.. Uhukkk!!’ Batuk yang tidak bisa dihindarkan lagi
datang, aku tersedak. Aku langsung mengambil gelas berisi air putih dan
meminumnya. Makanan enak ini ternyata bisa menyakitkan juga, batinku. Ternyata
Bu Aisha mendengar suara ribut batukku dan langsung menghampiriku.
“Eh, (uhukk) selamat pagi bu!” sapaku masih agak
terbatuk-batuk.
“Pagi juga Runa ! Kamu baik-baik aja kan? ”
“Pasti dong bu! Ibu tenang aja, aku bakalan selalu baik kok
selama ada ibu.” Godaku.
“Ah, jangan berkata seperti itu. Cepat teruskan makannya!
Tapi pelan-pelan, jangan sampai sendok dan piringnya ikut ketelan.” candanya.
Aku tersenyum sambil menatap Bu Aisha. Bu, andai ibuku sepertimu pasti aku akan
sangat bahagia, gumamku dalam hati.
“Runa? Kenapa kamu liatin ibu kayak gitu?” Tanya Bu Aisha
memecah lamunanku.
“Engga bu engga, ngga papa .. Abis ibu cantik sih .. hehe”
aku terkekeh.
“Jangan banyak bercanda, cepet habisin! Pa Kholil udah
nunggu di depan.”
“Iya bu .. Bentar lagi habis kok.” Jawabku sambil kembali
melahap nasi goreng nikmat itu. Bu Aisha tersenyum.
“Tapi boleh ga bu, aku naik sepeda aja ke sekolahnya?”
tanyaku agak ragu-ragu. Bu Aisha merubah ekspresinya menjadi wajah akan marah
dan menelanku hidup-hidup, aku selalu takut jika Bu Aisha sudah menampakkan wajah
seperti itu. Bu Aisha memang selalu khawatir padaku jika aku bepergian sendiri
tapi kali ini di luar perkiraan, ia mengangguk.
“Asseekkkk!!! Bener bu?” Tanyaku bersemangat.
“Bener.”
“Engga bohong?”
“Engga, kapan ibu pernah bohong? Sekarang kamu bukan anak
kecil lagi kan Runa?”
“Tentu aja dong bu!!”
***
Aku mengayuh sepeda kesayanganku yang berwarna biru safir,
warna kesukaanku. Rute yang ku tempuh berbeda lagi dengan jalan yang biasa ku
lewati karena biasanya aku pergi diantar Pak Kholil, supir keluargaku tentunya dengan
mobil keluargaku juga.
Setengah jam kemudian aku sampai di sekolahku tercinta, SMP National
Gold, lebih cepat daripada menggunakan mobil. Lantas aku memarkirkan sepedaku
di tempat parkir khusus sepeda yang ga begitu besar itu (kalo besar udah dijadiin lapangan
sepak bola sekolah dong, hehe). Aku melirik jam tanganku, ternyata baru pukul setengah 7
pagi, pantes sekolah masih sepi pikirku. Aku memutuskan untuk duduk di kursi
taman dulu daripada harus diam di kelas sepi yang hampir semua siswanya punya
hobi yang sama, yaitu kesiangan, untung aja aku ga termasuk.
Aku menatap lingkungan sekolahku yang asri. Sekolahku memang
didesain serba hijau dengan konsep go
greennya. Aku merindukan suasana sekolah yang hijau dan ramai. Aku rindu teman-temanku, batinku mulai
tidak sabar menanti hari-hari menggembirakan di sekolah.
“Hai Aruna!” sapa sebuah suara. Aku melirik ke arah asal
suara itu, terlihat seorang anak laki-laki yang memakai seragam sekolahku tapi
aku sama sekali ga mengenalnya.
“Hai juga, kamu siapa ya?” tanyaku
agak bingung.
“Gue? Murid baru.” Jawabnya singkat.
“Oh, kok tau namaku?”
“Ituh!” katanya sambil menunjuk name tag yang tertempel di kemejaku. Aku
tersenyum malu. Lalu orang itu duduk di sebelahku tapi tanpa minta izin dulu,
oke kali ini aku masih sabar.
“Eh, terus nama kamu siapa?”
“Gue.. Titan.” Jawabnya singkat.
“Kelas?” tanyaku lagi.
“IX-A.” lagi-lagi kalimat pendek
yang keluar dari mulutnya.
“Oh, IX-A toh.” Kataku merespon.
Lantas aku terdiam, aku bingung apa yang harus aku bicarakan dengan orang yang
baru aku kenal itu. Apa sih maunya anak ini? Batinku.
“Lo engga kaget denger kelas gue?”
tanyanya tiba-tiba. Hey, kemana aja? Dari tadi kek ngomong, garing taukk??
Omelku dalam hati, aku agak emosi. Aku menggelengkan kepala tanpa menatapnya
(balas dendam ni yee ceritanya).
“Kirain lo bakal kaget kita bakalan
sekelas.” Lanjutnya. Aku meliriknya cepat.
“Sekelas? Kamu di kelas IX-A kan?”
tanyaku bingung.
“Terus lo? Lo juga di IX-A kan?”
“Aku di….” Kataku sambil
mengingat-ingat.
‘GUBRAK!’Aku bukan kelas 8 lagi!!, gumamku
dalam hati sambil menjitak kepalaku sendiri. Aku lupa kalo sekarang aku udah
naik ke kelas 9.
“Eh, sorry sorry.. Aku lupa kalo aku
udah naek kelas!” kataku agak malu sambil senyum kaku kaku.
“Bodoh!” katanya dengan wajah super
datar ngalahin TV flat yang banyak diiklanin
di TV. Satu kata kecil yang begitu saja keluar dari mulutnya itu sangat
terangsang oleh otak dan perasaanku, yang kalo digambarkan di film kartun akan muncul bersama
sambaran petir dengan bonus suara guntur yang bikin budeg.
Anak ini ga sopan banget, udah dateng-dateng so’ kenal,
diajak ngomong malah cuek, sekarang malah ngatain aku bodoh. Terlalu!
*gayaBangHajiRomaIrama*
“Loh, kok kamu bilang gitu? Ga tau
terima kasih! Nyesel aku baikin kamu..” marahku. Orang itu malah tersenyum. Aku
menatapnya curiga, seakan penuh tanya, sedang apa di sini?? (loh kok malah jadi
nyanyi? Back to story!). Aku
menatapnya dengan wajah penuh tanda tanya. Apa maksud senyumannya itu? Tanyaku
dalam hati.
“Bingung?” tanyanya. Bodohnya aku
malah mengangguk.
“Tuhkan, lo tu beneran oon ..”
katanya lagi. Aku ternganga. Aku sudah malas untuk merespon apa katanya, aku
hanya memanyunkan bibir kira-kira 5cm. Dia sekarang terbahak-bahak melihat
ekspresiku. Benar-benar aneh, pikirku.
“Gue cuma bercanda lagi! Lo nganggap
serius gitu ah .. hahaha” sisa ketawanya masih ada. Aku menatapnya kesal sambil
mengepalkan tanganku. Rasanya ingin tinju ini aku layangkan ke mukanya.
“Hiyh, candaannya ga lucu!” balasku.
Dia hanya tersenyum. Kemudian keadaan hening.
“Mmm.. Runa?” katanya memecah
keheningan.
“Apa? Jangan bilang kamu mau
ngerjain aku lagi?” jawabku dengan polosnya.
“Seandainya gue mau ngerjain lo, gue
ga bakal bilang dulu neng.” Katanya dengan ekspresi lucu. Aku terkekeh.
“Lalu
ada apa?” tanyaku kemudian masih dengan senyum di wajahku, sebenarnya aku
masih agak kesal saat itu.
“Aku serius ini. Jangan anggap
bercanda.”
“Baiklah, memangnya ada apa?”
“Apa momentum terbaik dalam hidup
lo?”
“Loh, maksudnya? Emang pantes tiba-tiba kamu nanya gitu
ke orang yang baru kamu kenal?”
“Udah, jawab aja!”
“Mmmmm ….” Aku berpikir keras.
Momentum terbaik? Semua dalam hidupku adalah momentum terbaik kok, tapi kalo
aku ingat ibu rasanya ga ada tuh yang namanya the best moment. Jadi momentum terbaikku... apa ya?????
“Lo bingung? Apa lo ga tau?” tanyanya
kemudian melihat responku mirip orang disuruh ngerjain soal matematika yang susahnya
stadium 14.
“Enggg,
apa yah? Entar deh aku pikirin lagi. Nah kalo kamu?”
“Gue?” tanyanya sambil menunjuk
dirinya sendiri. Aku mengangguk pasti.
“Momentum terbaik dalam hidup
gue…….” Katanya setengah-setengah kayak di sinetron-sinetron yang
bikin penonton penasaran itu loh. Sebelum ia menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba..
‘Teeeeeettttttttttttttttttt!!!’ bel sekolahku
meraung-meraung kayak yang minta makan. Ternyata udah pukul 7, padahal aku sangat ingin mendengar
apa yang akan dia katakan.
“Eh, udah bel masuk tuh! Masuk
yuk?!” katanya kemudian tanpa melanjutkan kalimat sebelumnya. Tanpa menunggu
jawabanku dia nyelonong menuju kelas kami. Aihh, anak itu benar-benar
menyebalkan, batinku geram. Lantas aku mengikuti langkah kakinya menuju kelas.
***
Aku melangkahkan kaki ke sebuah
kelas bertuliskan IX-A. Ku lihat seluruh kursi sudah terisi oleh siswa kecuali
kursi di samping Titan. Hatiku agak ragu untuk duduk di samping anak
menyebalkan itu.
Astaga! Akan jadi apa aku nanti jika setiap hari ada di
sampingnya? Rempeyekkah? Pikirku. Tapi ah, sialnya sebelum aku
selesai memutuskan sesuatu Pak Syamsul tiba-tiba muncul di belakangku, tanpa
sadar aku ngibrit dan duduk tepat di kursi terkutuk itu.
Pak Syamsul adalah guru Bahasa Indonesia sekaligus wali
kelasku yang baru. Pak Syamsul adalah guru yang humoris, setiap kali ia
mengajar ia selalu menyelinginnya dengan lelucon-lelucon sehingga pelajarannya
tidak terkesan boring dan muridpun
akan cepat mengerti. Ia juga selalu baik pada murid-muridnya termasuk aku.
Walaupun begitu, aku ga berani seenaknya padanya, karena kebaikannya ia sangat
dihormati di sekolah.
Setelah beberapa kalimat penyambutan, Pak Syamsul memanggil
anak di sebelahku. Ya, Pak Syamsul memanggil Titan. Titan langsung menuju ke
depan kelas dan mulai bicara.
“Nama saya Titan Almairi Tsaqib. Panggil saya Titan. Saya
pindahan dari SMP Bintang Jakarta. Saya…” katanya tidak melanjutkan kalimat
berikutnya. Heran, ni anak kayaknya suka banget nonton sinetron yang ampe ribuan
episode itu deh,
pikirku sok tau sambil senyum-senyum sendiri.
“Sudah selesai Titan? Jangan gerogi begitu dong!” canda Pak
Syamsul.
“Sudah pak!” jawab Titan singkat.
“Jangan pergi dulu ya? Bapak mau nanya, apa kamu punya sebuah
kalimat favorit?”
“Tidak, tapi saya punya sebuah prinsip pak.” Jawab Titan pasti.
“Baiklah kalau begitu, coba sebutkan!”
“Mmm.. Momentum terbaik dalam hidup saya adalah saat saya
dilahirkan, saat saya diberi kesempatan untuk mengalami momentum lainnya dalam
kehidupan saya hingga sekarang. Saya punya prinsip, seburuk apa momentum
lainnya itu saya tidak akan pernah menyalahi kehidupan saya. Saya akan selalu
bersyukur pada Tuhan karena telah diberi momentum terbaik saya, yaitu
kehidupan.” Jelas Titan bak rumus balok. Aku terbengong-bengong, bahkan bukan
hanya aku saja, seluruh isi kelas juga terbengong-bengong dibuatnya. Pasalnya,
kata-kata Titan itu sangat menyentuh hati siapa saja yang mendengarnya. Itu
adalah kalimat terpanjang dan terbaik yang pernah ku dengar dari mulutnya,
setidaknya sejak tadi pagi aku mengenalnya.
Titan kembali ke kursinya. Ia menatapku aneh.
“Mmm.. Titan, apa itu benar-benar momentum terbaikmu?”
tanyaku agak ragu.
“Ya itu bener, kehidupan adalah anugerah terindah bagi gue.”
Jelasnya. Aku terdiam sejenak memikirkan sesuatu.
“Terus lo udah nemuin momentum terbaik lo?” tanyanya
kemudian. Aku menggelengkan kepala.
“Coba lo pikirin lagi deh!”
“Pasti!” jawabku.
***
‘Apakah momentum terbaik dalam hidupku?’ tanda tanya besar
muncul di otakku. Pertanyaan yang tak penting dari orang yang tak penting juga,
tapi kenapa aku masih terus memikirkan jawabannya? Pikirku saat aku
membaringkan diri di ranjang bersprai biruku.
Tapi ada yang aneh denganku saat Titan mengatakan momentum
terbaiknya, kehidupan.. Hatiku merasa takut, sangat takut. Aku jadi teringat
kehidupanku di masa lalu.
Kalau dipikir-pikir aku tidak pernah bersyukur dengan apa
yang kupunya, aku selalu mengeluh saat aku dilahirkan dari ibu yang super cuek
padahal dia cuek karena mencari biaya hidup untukku. Aku selalu mengeluh
padahal aku sudah diberi Bu Aisha yang sangat baik padaku yang menyayangiku
layaknya seorang ibu. Aku tidak pernah bersyukur dengan apa yang kumiliki dan
selalu meminta lebih. Aku ingat saat aku masih kecil aku membuang mainan dari
Bu Aisha dan berkata ‘aku ingin mainan dari ibuku’. Sungguh bodoh aku waktu
itu, aku sering sekali menyakiti perasaannya dan bertingkah seperti anak kecil
bahkan hingga sekarang.
Akupun teringat sesuatu, sepertinya
malam ini ibu akan pulang. Apa aku harus menunggu dan menghampirinya? Tapi ah, pasti
ibu akan langsung pergi ke ruang kerjanya tanpa menghiraukanku. Tapi aku sangat
merindukannya, batinku.
Aku jadi ingin menangis memikirkan semua itu, mataku mulai
memerah. Ibu... Bagaimana harusnya aku bersikap padamu? Tanyaku dalam hati.
Daripada aku bingung, aku memutuskan untuk tidur. Akupun menutup mataku.
***
Aku terbangun, aku merasakan ada
yang memanggilku, aku
lihat jam weker baru pukul satu malam. Aku memutuskan untuk pergi menghampiri suara
itu. Tapi sesuatu
yang aneh terjadi saat aku akan membuka pintu dan melihat ke ranjangku,
terlihat seseorang serupa wajahku yang tertidur pulas di sana persis dengan
posisi saat aku tidur tadi.
“Kalau itu aku, lalu aku yang ini
apa?” batinku mulai ragu. Aku melihat sekeliling kamar, ini benar-benar
kamarku, tapi kenapa aku ada dua? Pikirku.
Aku mencoba tidak ambil pusing tapi hal aneh lain terjadi
saat aku mencoba memegang gagang pintu, aku tidak bisa menggapai atau
menyentuhnya padahal itu ada di depan mataku. Aku mencoba untuk menembus pintu
seperti yang dilakukan hantu-hantu di film horor lalu ‘slupp’ aku sudah berada di luar
kamarku.
DEG! Ada apa ini? Pikiranku mulai
kacau.
Tiba-tiba aku teringat berbagai flashback kejadian di masa lalu. Muncul kenangan saat aku pertama
masuk sekolah dan memperkenal diri di sekolah dasar, adegan liburan bersama
teman-teman sekolahku dulu, saat Bu Aisha memelukku ketika aku menangis karena
dijaili temanku, dan saat aku menangis sendiri di kamar karena merindukan ibu.
Semuanya terekam erat kembali di otakku.
“Tuhan.. Ada apa pada diriku ini?
Apa aku sudah mati? Apa aku benar-benar sudah mati? Apa aku tidak akan bisa
menemui Bu Aisha lagi? Apa aku tidak akan pernah merasakan dipeluk ibu? Apa aku
tidak akan bisa sekolah lagi? Apa aku tidak akan bisa bertemu dengan
teman-temanku lagi?” tanyaku bertumpuk di dalam otakku. Aku bingung, apa yang
sedang terjadi saat ini. Aku hampir menangis.
Aku mendengar suara itu lagi,
sepertinya dari ruang kerja ibu. Akupun pergi menghampirinya. Ketika aku berada di ruangan itu, aku
tidak mendengar suara apa-apa lagi aku hanya melihat seorang wanita setengah baya yang
sedang tertidur lelap di meja kerja.
“Ibu…” gumamku. Ku
hampiri wanita itu, wanita yang selama ini ku rindukan kasih sayangnya. Aku
mencoba untuk memeluknya tapi tidak bisa, usaha apa pun yang kulakukan tidak
akan dapat mengubah apapun karena sekarang aku tidak nyata. Aku hanya bisa
memangdang wajahnya yang kelihatan lelah sekali itu.
“Ibu… kau begitu cantik.. Menurutku kau lebih cantik
daripada selebritis sekalipun. Tapi mengapa wajah cantikmu begitu jarang kau
perlihatkan pada ku? Padahal aku selalu berharap mendapat hadiah pelukan hangat
saat aku memujimu.” Kataku tanpa sadar, aku tidak bisa membendung air mataku
lagi, pipiku mulai basah. Tapi aku terus melanjutkan kalimatku.
“Ibu.. kau begitu hebat. Kau bekerja setiap hari demi aku,
demi membiayai hidupku. Tapi ibu, kenapa kau tidak pernah memberikanku
kesempatan untuk membantumu? Membantumu saat kau lelah seperti sekarang. Kau
selalu mengunci diri dalam ruang kerjamu, padahal aku sangat ingin memijit
pundakmu saat kau pulang bekerja.
Ibu.. aku tau, kau sudah lelah melakukan semua ini. Aku tau
sebenarnya kau sangat menyayangiku dibanding siapapun dan apapun. Tapi mengapa
tak pernah kau perlihatkan kasih sayang itu padaku? Padahal aku sangat ingin
membalas kasih sayang itu, membahagiakanmu selama aku bisa.
Ibu.. ke mana saja kau selama ini? Aku rindu padamu. Aku
ingin menghabiskan waktu sehari saja denganmu, terlepas dari semua pekerjaamu
dan semua aktifitasku. Aku ingin berdua saja denganmu. Berdua dengan segala
kebahagiaan. Jangan bilang aku seperti anak kecil ibu, tapi cita-citaku dari
dulu adalah seharian pergi ke taman bermain dengan ibu yang susah payah melahirkanku, hanya denganmu ibu..”
Seluruh perasaanku sudah ku utarakan
padanya. Walaupun ibu tak mendengarnya tapi aku cukup lega. Tak sengaja aku
melihat sebuah jurnal kecil yang tergeletak begitu saja di meja kerja ibu. Ku
lihat 2 halaman jurnal yang terbuka itu penuh oleh tulisan tangan ibuku. Ini
terlihat seperti buku diari ibu. Karena penasaran, lalu aku membaca jurnal itu
dengan teliti, begini isinya..
Runa..
Bukan tak ingin ibu
menyayangimu nak. Ibu hanya ingin jadikan kamu anak yang mandiri. Ibu sadar
sifat ibu, jika ibu mengurusmu sendiri, ibu akan terlalu menuruti semua
keinginanmu dan kamu akan menjadi anak yang manja. Maka dari itu ibu titipkan
kamu pada Bu Aisha yang lebih bisa menjadikanmu anak yang lebih baik dengan
kasih sayang yang tidak kurang dari kasih sayang seorang ibu.
Bukan
semata itu nak, ibu bekerja siang dan malam untuk menjaga kebutuhanmu di masa
datang. Ibu tak ingin kamu mengalami masa ketika kamu kesulitan untuk memenuhi
semua kebutuhanmu dengan usahamu sendiri.
Tapi itu
bukan berarti ibu tidak pernah memerhatikamu. Setiap hari ibu selalu mendapat
kabar dari Bu Aisha dan sekarang ibu tau, putri ibu sudah menjadi anak yang
pintar, ceria, dan dewasa. Bukan dengan perasaan yang senang juga ibu melakukan
ini. Ibu sedih nak.. Saat ibu pulang bekerja ibu sangat ingin memelukmu tapi
ibu lihat putri ibu sudah tertidur pulas, mana tega ibu membangunkannya.
Ibu mohon,
jangan benci ibu. Meskipun rasanya cara ini kurang bijaksana, tapi ibu mohon
sekali lagi jangan benci ibu. Maafkan ibu yang telah banyak menyakitimu. Tapi
terus terang, ibu sangat merindukanmu nak...
DEG! Aku tak bisa berkedip
membacanya, apa ini benar? Tanyaku dalam hati. Aku tak hentinya menangis. Dalam
hatiku aku merasakan rasa bersalah yang sangat besar. Ibu.. Maafkan aku,
walaupun tidak ku lakukan tapi aku sering berpikir untuk membencimu, gumamku. Aku berlari sekencang-kencangnya menuju
kamarku lagi. Masih kulihat diriku yang tertidur di ranjang itu. Kemudian aku
mencoba menutup mata sambil berdo’a.
“Tuhan.. Jika benar aku sudah mati. Tolong sekali ini saja
beri kesempatanku hidup kembali. Aku ingin meminta maaf sekaligus berterima
kasih kepada ibuku, Bu Aisha, teman-teman, dan semua orang yang ada di hidupku.
Beri kesempatan juga padaku untuk mengatakan momentum terbaik dalam hidupku
karena sekarang aku telah mengetahuinya…”
Tubuhku terasa melayang, lalu.. entah apa yang terjadi.
***
Aku terbangun di pagi yang cerah. Tanganku respon
memegang wajahku. Aku berlari ke wastafel dan kulihat cermin besar. Baru kali
ini aku sangat gembira ketika melihat diriku yang berantakan itu di cermin.
“Aku
masih hidupppp !!!” aku bersorak gembira, hampir saja aku melakukan
adegan-adegan film kungfu dengan melompat ke sana ke mari, tapi sayangnya aku
tidak punya ilmu itu. Lantas aku bersiap-siap ke sekolah dengan semangat 45.
“Bu! Aku pergi dulu ya?!” kataku
pada Bu Aisha sambil membawa sepedaku.
“Engga sarapan dulu Runa?” tanya Bu Aisha dengan wajah agak
khawatir.
“Engga bu. Terima kasih sudah menyayangiku selama
ini.” Kataku. Mula-mula ekspresi Bu Aisha terlihat aneh tapi kemudia ia tersenyum. Dan aku mulai mengayuh sepedaku, aku sudah tidak sabar mengatakan hal
yang kujanjikan pada Titan.
Saat aku sampai di sekolah, aku langsung
memasuki kelas dan mencari sosok Titan. Tapi aku sama sekali ga melihat batang
hidungnya. Sampai
bel masukpun ternyata Titan ga nongol-nongol. Aku menunggu dengan perasaan ga
menentu.
“Titan kamu ke mana sih? Padahal aku
ingin mengatakan bahwa momentum terbaik dalam hidup sama dengan pendapatmu.
Kejadian tadi malam telah menyadarkanku. Walaupun aku sangat telat
menyadarinya, tapi aku sekarang tau bahwa hidupku adalah anugerah terbesar, segala
sesuatu dalam hidupku adalah anugerah terbesar.”
Batinku. Tiba-tiba Liana memecah lamunanku.
“Runa, aku perhatiin dari tadi
kayaknya kamu gelisah banget. Ada apa sih?” tanyanya.
“Aku nyari Titan. Kira-kira ke mana
ya dia?” balasku.
“Titan? Titan siapa?”
“Loh? Titan Almairi Tsaqib. Titan yang
kemaren baru masuk itu loh. Pindahan dari Jakarta, yang kemaren memperkenalkan diri di
depan kelas. Masa kamu ga ingat?” tanyaku bingung. Semuanya mulai terasa aneh.
“Apa sih maksud kamu Runa? Masih mimpi kamu? Sadar woy! Sekarang tuh baru hari
pertama masuk. Gimana bisa kemaren ada murid baru yang memperkenalkan diri di depan kelas? Kamu tuh suka aneh yah!” jelas Liana, lantas ia berlalu
meninggalkanku yang ternganga sendiri.
Serasa digetok panci, aku baru menyadari bahwa semua itu
cuma mimpi, bukan kenyataan. Jadi itu semua mimpi toh??? Cuma mimpi???? Masa??? Kok bisa? Titan.. Jurnal ibu.. Momentum terbaik..
Semuanya cuma mimpi.. Gubrakkkk!!!, aku menjitak jidatku sendiri.
Aku terdiam dan berpikir sejenak, kemudian
tanpa sadar aku tersenyum..
Tapi…. rasanya mimpi itu tak sia-sia.. Sekarang aku tau bagaimana aku harus
bersikap dan yang paling penting aku tau momentum terbaik dalam hidupku, yakni kehidupanku
sendiri.
Terima kasih Tuhan, Kau telah
memberikanku hidup.... Terima kasih...
~THE END~